Rabu, 24 Februari 2010

jujur

Dalam sebuah acara diskusi di sastra, Seno Gumira pernah melontarkan wacana hobinya menonton bola. Menurutnya sepakbola saat ini adalah wahana paling jujur. Dia merasa tak ada acara lain sejujur permainan sepakbola, maka ia menikmati ketika menonton pertandingan sepakbola di televisi. Larut dalam emosi ketika pemain mencetak gol, tim kesayangan kebobolan, pemain kunci cedera, peluang terlewatkan, ramainya suporter, hingga ikut bertepuk tangan ketika pahlawan pertandingan keluar lapangan. Sekalipun yang nun jauh disana tidak langsung merasakan semangat yang dikirim dari timur jauh.

Sekali lagi adalah kejujuran, adalah barang yang harganya tidak bisa kita lihat. Hanya terasa. Dan semua menjadi blur ketika kaum materialis menekankan pahamnya. Karena jujur dahulu adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan materi. Entah saat ini. Setidaknya aku masih tahu, bagaimana rasa gelisahnya jiwa saat bibir berucap dusta.

Rasa menjadi berharga. Ketika sudut 'rasa' mulai tak terasa. Ketika jiwa mulai kehilangan rasa. Ketika rasa telah berbandrol harga. Ada hal yang tak ingin hilang dari romantika dinamisnya jiwa. Bagaimana sedihnya nurani, ketika sulit bernyanyi karena rasa telah mati. Dari sini setidaknya kita tahu, ada nilai yang semakin blur karena invasi para kaum materialis.

Dan kita yang memutuskan akan dibawa kemana rasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar