Senin, 31 Mei 2010

Bapak


Bapak adalah orang tua laki-laki kita. Dalam konsep keluarga, bapak memiliki fungsi dan wewenang sebagai kepala rumah tangga. Dia memiliki tugas memberi nafkah kepada keluarganya, yang terdiri dari istri dan anak – anaknya. Dalam konsep keluarga, bapak adalah suami dari ibu kita, seseorang yang memiliki hubungan secara biologis dengan kita. Seiring perkembangan zaman konsep bapak meluas. Tidak hanya terbatas pada konsep biologis yang seperti dijabarkan di atas, tetapi juga telah menjadi konsep sosial. Panggilan “bapak” dewasa ini telah menjadi panggilan umum yang digunakan oleh orang untuk memanggil orang yang usianya lebih tua.
               Konsep sosial yang berkembang tentang panggilan “bapak” ini digunakan oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan dari satu individu ke individu lainnya yang berbeda usia. Dalam satu contoh di masyarakat, kata panggilan “bapak” digunakan digunakan sebelum memanggil nama orang. Hal ini sering terjadi di acara pesta, antrian rumah sakit. Contoh lainnya dalam kehidupan bertetangga, seorang anak keluarga tertentu menggunakan kata bapak dalam berbicara dengan orang tua lain yang tidak memiliki hubungan darah. Hal ini digunakan untuk menghormati keberadaan orang yang usianya lebih tua tadi.
Meluasnya pengertian bapak dari konsep biologis menjadi konsep sosial diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara mencoba menekankan konsep kekeluargaan dalam lembaga pendidikan yang didirikan olehnya, yaitu Taman Siswa. Menurutnya, dengan menggunakan kata “bapak” dalam percakapan sehari-hari akan mengurangi distorsi yang terjadi karena perbedaan usia dan latar belakang (Shiraishi ; 2006). Baik itu dari hubungan antara pengajar satu dengan yang lainnya maupun pengajar dengan siswanya. Dari sanalah perkembangan konsep sosial bapak yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara sekitar tahun 1920–an.
Pada perkembangannya kata “bapak” juga digunakan dalam organisasi formal seperti instansi atau perusahaan. Misalkan panggilan untuk direktur atau kepala staff, dalam percakapan sehari-harinya adalah menggunakan kata pak. Panggilan “pak” itu sendiri merupakan potongan kata dari kata Bapak. Walau kata tersebut merupakan potongan tetapi tidak merubah esensi aslinya. Yaitu kata yang menunjukkan penghormatan kepada seseorang yang merupakan salah satu aplikasi penggunaan konsep “bapak” Ki Hajar Dewantara.
Permasalahan yang terjadi sekarang ini dalam penggunaan kata bapak adalah timbulnya toleransi. Hal ini terkait dengan penggunaan kata bapak yang menimbulkan efek psikologis akan hubungan yang bersifat “kekeluargaan”. Mungkin itu yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara, karena memang pada prakteknya toleransi merupakan sebuah kewajaran dalam keluarga. Misalkan seorang anak yang berbuat kesalahan, belum tentu sang orang tua akan menghukumnya. Jika sang anak bersalah dan meminta maaf maka permasalahan selesai. Begitulah konsep toleransi dalam keluarga. Namun bagaimana hal ini jika diberlakukan dalam organisasi sosial yang ternyata tidak berdasar pada latar belakang yang sama atau bahkan tidak memiliki hubungan darah sama sekali.
Ada penggambaran sederhana tentang permasalahan toleransi dalam organisasi formal.  Dalam sebuah lembaga yang memiliki orientasi dengan profit, uang dan surplus menjadi prioritas. Pergerakan dalam sebuah dinamika kehidupan lembaga itu pun bisa menjadi alasan maju atau mundurnya lembaga tersebut. Biasanya konsep kekeluargaan akan mengarahkan pada sikap bekerja yang lebih fleksibel. Dalam artian, bersikap dengan pola pikir, “oh ngga apa-apa kita kita berbuat salah sedikit, karena masih bisa ditolerir.“ Atasan, sebagai orang yang dipanggil “bapak”, pun akan berpikir kasihan jika menghukum karena mereka adalah “anak – anaknya” juga. Maka dengan pola pikir tersebut profesionalitas dalam bekerja di lembaga akan semakin menurun. Inilah salah satu dari sekian banyak alasan tentang rendahnya profesionalitas dalam lembaga yang terjadi di Indonesia.
Sedikit perbandingan antara konsep Bapak maupun Tuan dengan di luar negeri seperti Inggris atau Amerika. Dalam penggunaan bahasa rumah dan tempat kerja itu berbeda. Kata father atau daddy tak digunakan di tempat kerja, tetapi menggunakan sir. Dengan begitu akan menunjukkan posisi yang jelas, antara atasan dan bawahan. Jadi dalam bekerja tidak menggunakan konsep kekeluargaan. Para pekerja akan mematuhi segala peraturan dan tidak mencoba mengintervensikan dengan efek psikologis dari kata pak, seperti yang dilakukan di Indonesia.
 Herudjati Purwoko dalam bukunya tiga simbol budaya  menggambarkan tentang penggunaan kata ternyata mempengaruhi cara berpikir penggunanya. Penggunaan kata bapak dapat diartikan menstrukturkan cara berpikir hingga membentuk pola perilakunya. Mulai dari penekanan bahwa satu dengan yang lain, atasan dengan bawahan adalah keluarga dan akhirnya timbulnya rasa toleransi sebagaimana keluarga. Lantas pada akhirnya mulai terdegradasinya rasa penghargaan terhadap peraturan.
               Jadi selama ini menurunnya kualitas kerja pegawai perusahaan atau sejenisnya dapat disebabkan oleh penggunaan kata bapak dalam interaksi. Tetapi sebenarnya kualitas kerja tersebut sangat dipengaruhi dari ketaatan terhadap peraturan dari pegawai itu sendiri. Hal itu dimulai dari atasan hingga bawahan.
Strukturalisme lagi,. Keparat,.






3 komentar:

  1. udah bagus2 ya nih tulisan..
    kenape pake ada kata penutup yang...ohh...
    ckckck..!

    nang..nang..
    tobaaatt..!!
    :P

    BalasHapus
  2. kata penutupnya kenapa,.

    bermasalah ya,.
    tak apa, kan kacamata kita berbeda,. ^^

    BalasHapus
  3. baiklah...

    qt memang punya kacamata yang berbeda..
    punya lo ga bisa dpake sm gw, punya gw jg ga bisa dipake sma lo..
    secara minusnya beda..
    heu..
    :P

    terlepas dari semuanya... nice note!!
    :)

    BalasHapus